![]() |
Banda Aceh.Editor – Ada hari-hari tertentu di Aceh ketika kantor pemerintah berubah wajah menjadi posko distribusi tak resmi. Meugang, yang sejatinya budaya menyambut hari besar dengan berbagi daging, telah bermetamorfosis menjadi ajang rebutan jatah amplop dan sembako. Bukan hanya pegawai yang menanti, tapi juga barisan orang-orang yang mengaku dari media.
“Benar, tahun ini tidak seperti biasa. Dulu saya yang pegang daftar, saya rekap nama-nama wartawan dan saya serahkan ke staf. Sekarang bebas. Mereka datang sendiri, ngaku dari media anu, ambil dan langsung cabut,” ujar seseorang yang disebut-sebut sebagai korlap media di sebuah instansi vertikal yang akrab dengan proyek-proyek besar.
Instansi itu disebut-sebut berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Tapi tidak satu pun nama disebut terang. Yang pasti, menurut keterangan si korlap, tahun ini lebih dari 25 orang menerima amplop meugang dari sana. “Saya dan ketua korlap malah enggak dapat. Yang ramai itu justru yang datang sendiri-sendiri, bawa map, atau sekadar ngaku-ngaku,” tambahnya.
Menurut petugas keamanan yang berjaga di pintu gerbang, wajah-wajah tersebut bukan asing. “Ada yang datang tiap tahun. Gayanya macam-macam. Ada yang pura-pura nyapa staf, ada yang masuk langsung ke ruangan bendahara, ada juga yang telpon-telpon, bilang wartawan media partner,” tuturnya.
“Yang rutin dibagi itu ya amplop meugang. Kadang disertai sembako: beras, minyak, kadang ada daging sekilo. Tapi amplop uang itu yang paling diburu,” ujarnya, menambahkan bahwa beberapa datang dalam rombongan kecil, membawa proposal, atau surat tugas dari organisasi yang tak jelas afiliasi medianya.
Lebih heboh lagi, tahun ini muncul permintaan tak biasa. “Ada yang minta disiapkan beberapa ekor lembu. Katanya untuk dibagi ke anggotanya yang jumlahnya banyak sekali. Padahal kalau dilihat, kantor medianya entah di mana,” ujar seorang ASN dengan nada geli.
Fenomena ini bukan baru. Tapi makin tahun, makin terang-terangan. “Dulu mereka malu-malu. Sekarang? Langsung nyodorin surat permohonan. Ada juga yang langsung tanya, ‘jatah kami mana, bang?’ kayak pesan barang online,” celetuk staf bagian keuangan.
Total dana yang digelontorkan untuk “hubungan baik dengan insan pers” tidak diketahui pasti. Tapi jika dikalkulasi dari semua instansi vertikal, pemda, hingga dinas kabupaten, nilainya bisa menyentuh miliaran dalam setahun. “Coba saja tanya ke bagian keuangan masing-masing. Ada anggaran komunikasi, publikasi, relasi. Di sanalah mainnya,” bisik seorang mantan bendahara.
Petugas keamanan mengaku sudah hafal siapa saja yang rutin datang saat hari-hari besar. “Nama medianya bisa beda-beda. Tapi wajahnya ya itu-itu juga. Mau dilacak gampang, buka saja CCTV. Ada semua. Kalau dikumpul fotonya, bisa jadi kalender,” katanya sambil tertawa hambar.
Seorang ASN muda menyebut mereka sebagai “wartawan musiman”. “Mereka muncul menjelang meugang, lebaran, atau saat dana pokir cair. Sisanya enggak kelihatan batang hidung. Ada yang datang bawa kamera rusak, ada yang ngaku kontributor padahal enggak pernah nulis. Tapi minta jatah meugang, jatah pelatihan, jatah keberangkatan,” katanya.
Bahkan, ada istilah baru yang berkembang di lingkup internal: “wartawan kolektor”. “Mereka datang bukan mau wawancara. Tapi nagih bagian. Gayanya percaya diri, kadang maksa. Anehnya, pegawai kita banyak yang nurut. Takut viral, katanya,” ucap seorang pejabat eselon yang mengaku pernah ditekan lewat berita titipan.
Ketika ditanya siapa saja oknum yang dimaksud, hampir semua sumber tertawa kecut. “Kalau disebut namanya, ribut nanti. Tapi ya orang-orangnya itu saja. Ganti kulit, ganti kartu pers, tapi nafsunya tetap,” ucap seorang pegawai tua.
Ia bercerita, ada yang pernah datang sambil pamer bahwa dirinya lulus UKW, punya sertifikat Dewan Pers, dan katanya sudah “terverifikasi administrasi”. “Tapi yang dia cari bukan klarifikasi berita. Dia nanya, ‘jatah untuk media kami tahun ini bagaimana?’ Lalu kasih surat,” kisahnya sambil menggeleng.
Hingga berita ini ditulis, redaksi belum berhasil mewawancarai pimpinan instansi tersebut. Belum jelas sejak kapan kebijakan pembagian amplop ini diterapkan secara terbuka. Tapi sejumlah sumber menyebut, kebiasaan ini sudah berlangsung sejak lama, dan hanya makin liar seiring zaman.
“Tradisi tersebut sudah berlangsung lama, puluhan tahun. Berganti generasi tanpa ganti tradisi,” pungkas Ery Iskandar, pemantau pers di Aceh.
**Ahmad Faisal/Abdul Wahab
0 Komentar