Jurnalis Aceh Pasca Damai: Kompas Berita Bergeser ke Pokir


Banda Aceh ,Editor – Dua puluh tahun setelah MoU Helsinki, peran jurnalis Aceh berubah drastis. Jika dulu mereka mengarungi medan liputan di tengah baku tembak, kini sebagian justru sibuk mengejar dokumen pokok-pokok pikiran (Pokir) anggota legislatif.

Seperti dilansir modusaceh.co, mantan wartawan SCTV Fery Efendi mengaku prihatin dengan pergeseran orientasi ini. “Sekarang banyak media dan wartawan Pokir. Dulu kita menghitung jumlah korban, sekarang banyak wartawan menghitung angka-angka di pagu anggaran Pokir,” ujarnya dalam Podcast Sisi Lain edisi khusus Hari Damai Aceh.

Pada masa konflik, kata Fery, liputan penuh risiko dilakukan di Pidie, Lhokseumawe, hingga hutan Aceh Timur. Kini medan liputan itu berganti menjadi ruang paripurna DPR dan rapat-rapat anggaran. “Alih-alih mengupas tuntas, sebagian media justru memilih jadi saluran promosi realisasi Pokir,” tambahnya.

Pandangan serupa datang dari Ery Iskandar, pemantau media di Aceh yang telah lama memonitor perilaku wartawan di daerah ini.

"Redaksi seperti dibiarkan berjalan autopilot. Waktu dan energi dihabiskan untuk melobi proyek. Padahal tugas utama wartawan adalah mengawasi jalannya pemerintahan, bukan ikut dalam arusnya,” tegas Ery.

Data Laporan Keuangan Pemerintah Aceh 2021–2024 yang dikutip modusaceh.co mencatat, 38 persen belanja modal berbasis Pokir tidak memiliki kajian kelayakan memadai. Meski demikian, hanya sedikit media lokal yang mengangkat fakta ini. Sebagian bahkan menerima imbalan publikasi ratusan juta rupiah, disertai praktik pengembalian dana (cash back) ke pemilik Pokir sebesar 30–50 persen.

Bagi Fery dan Ery, damai tidak cukup dimaknai sebagai ketiadaan peluru. Damai seharusnya memberi ruang bagi pers untuk kembali menemukan kompasnya sebagai pengawal akuntabilitas publik.

"Kalau wartawan sibuk berburu Pokir, publik akan kehilangan garda terdepan yang seharusnya menjaga integritas demokrasi di Aceh,” tutup Ery.

 (AW/Int)

Posting Komentar

0 Komentar