![]() |
Proyek pembangunan Gedung Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Barat senilai Rp20,3 miliar |
Pantauan media Beritaeditorial.com ini pada Senin, 7 Juli 2025, pekerjaan di lokasi baru memasuki tahap pondasi, padahal kontrak diteken sejak 15 Mei 2025. Artinya, masa pelaksanaan sudah berjalan hampir tiga bulan. Lambannya progres pun memunculkan pertanyaan, terutama soal pengawasan dan pelibatan pihak-pihak di luar teknis.
Saat dikonfirmasi, Esa, staf admin proyek dari PT NHK Jaya Mandiri, mengakui baru 49 hari kerja terlewati sejak Surat Perintah Mulai Kegiatan (SPMK) dikeluarkan pada 20 Mei. Menurutnya, realisasi progres sudah mencapai 10 persen, sementara target kontrak baru 8 persen, sehingga proyek disebut masih dalam deviasi positif.
Namun, Esa enggan menjawab saat ditanya soal ketahanan bangunan terhadap gempa, serta menepis isu "bintang dua" dengan menyebutkan hanya ada persoalan penawaran harga material dari masyarakat yang dinilai tak masuk akal.
Lebih jauh, Zulhendri kawe , Site Manager PT NHK Jaya Mandiri, menjelaskan pekerjaan pondasi bore pile terkendala kondisi tanah berpasir, sehingga metode kerja diubah dan jumlah titik pengeboran ditambah dari 41 menjadi 72 titik. Perubahan ini disebut berdampak pada lambannya pekerjaan.
Soal isu tekanan dari masyarakat yang minta “jatah” bongkar muat, Zulhendri mengakui sempat terjadi intimidasi. Namun pihaknya menolak dengan alasan metode tersebut premanisme. “Kami minta oknum itu mengikuti prosedur, silakan masukkan proposal, tapi tak dilakukan,” jelasnya.
Menyoal isu "bintang dua", Zulhendri kawe menduga informasi itu muncul karena perusahaannya selama ini banyak mengerjakan proyek di lingkungan Polda Polres Pasaman Polres Mentawai .Pakar di Lingkungan Polda . “Mungkin suplier atau masyarakat menduga begitu karena latar belakang itu,” katanya.
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek, Novi, dari Dinas BMCKTR Sumbar, memastikan bahwa proyek masih berjalan sesuai spesifikasi dan target waktu. Novi juga tidak membantah informasi bahwa rekanan sebelumnya sering mengerjakan proyek di lingkungan kepolisian.
“Sekarang mereka bekerja di luar lingkungan Polda, mungkin belum terbiasa dengan dinamika masyarakat sipil,” ujarnya saat ditemui di lokasi pada 8 Juli 2025
REPRO Sumbar: Jangan Bawa Nama Hukum, Tegur Kontraktor!
Isu keterlibatan oknum "berbintang dua" dalam proyek ini mendapat sorotan keras dari DPW Relawan Prabowo (REPRO) Sumatera Barat.
Ketua DPW REPRO, Roni, menyatakan bahwa negara ini adalah negara hukum. Maka, hukum tidak boleh digunakan sebagai alat intimidasi dalam urusan proyek.
“Jangan gunakan simbol-simbol penegak hukum untuk menakut-nakuti masyarakat, apalagi jika itu hanya untuk melindungi praktik pelanggaran. Itu contoh buruk!” tegasnya.
Roni menilai, jika ada masyarakat yang melanggar hukum, laporkan secara prosedural. Namun kontraktor juga harus transparan. Ia menyoroti papan proyek yang tidak mencantumkan tanggal kontrak sebagai bentuk ketidaktransparanan informasi publik.
“Ini proyek dari uang rakyat. Nilainya lebih dari Rp20 miliar. Masyarakat berhak tahu dan mengawasi,” ujarnya.
REPRO mendesak agar PPK menegur kontraktor yang dinilai memberi contoh buruk dan menyembunyikan informasi. Mereka juga meminta konsultan pengawas lebih aktif di lapangan untuk menjamin kualitas dan transparansi proyek.
Isu proyek yang melibatkan simbol hukum atau tekanan terhadap masyarakat harus diusut tuntas. Masyarakat dan lembaga swadaya perlu mengawal ketat pembangunan dengan dana publik agar tak menjadi ladang kekuasaan atau kepentingan.
**Afridon
0 Komentar