![]() |
Ilustrasi kawin kontrak. Kamis 1 Mai 2025 pukul.19.05 Wib |
Puncak, Editor — Istilah “kawin kontrak” masih menjadi fenomena yang membayangi kawasan wisata Puncak, khususnya di wilayah Kabupaten Cianjur dan Bogor. Praktik ini menyeret nama Indonesia dalam sorotan isu sosial dan HAM internasional, karena menyangkut eksploitasi perempuan lokal di balik kedok pernikahan sementara dengan turis asing, terutama dari Timur Tengah. Kamis 1 Mai 2025
Meski telah lama dikritik dan berulang kali dirazia aparat, praktik ini tak benar-benar hilang. Ia hanya berganti wajah: dari terang-terangan menjadi lebih terselubung.
Musiman dan Sarat Transaksi
Fenomena ini mencuat terutama saat musim liburan. Perempuan muda dari keluarga ekonomi menengah ke bawah menjadi sasaran utama. Dengan iming-iming kontrak pernikahan selama seminggu hingga sebulan, para perempuan ini menerima bayaran antara Rp 5 juta hingga Rp 20 juta, tergantung usia, penampilan, hingga siapa pria yang mengajukan “kontrak”.
“Biasanya turis Timur Tengah. Sudah ada calo yang urus semuanya,” ujar seorang warga setempat yang enggan disebutkan namanya.
Dibungkus Nikah Siri, Nyaris Tak Terjamah Hukum
Kawin kontrak kerap dikamuflasekan sebagai nikah siri, yang tidak tercatat secara resmi di KUA. Ini membuatnya sulit disentuh hukum. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh para calo dan mucikari untuk menjalankan praktik yang dalam banyak kasus mendekati prostitusi terselubung.
Meskipun aparat setempat sudah berupaya dengan edukasi dan razia, pengawasan terhadap praktik nikah siri tidak berjalan optimal. “Kami terus sosialisasikan bahwa ini rentan eksploitasi, tapi pengawasan butuh sinergi lintas instansi,” kata salah satu pejabat Dinas Sosial Kabupaten Bogor.
Dampak Sosial dan Hukum
Kebanyakan perempuan yang terlibat tidak memiliki perlindungan hukum. Jika terjadi kekerasan atau penelantaran, nyaris tidak ada jalur hukum yang dapat ditempuh, karena hubungan mereka tidak tercatat secara sah.
Aktivis perempuan menilai pemerintah masih lemah dalam merespons fenomena ini. “Selama hanya ada razia musiman tanpa pendekatan akar masalah seperti pendidikan, pemberdayaan ekonomi, dan perlindungan hukum, praktik ini akan terus hidup,” ujar seorang aktivis dari LSM perempuan di Cianjur.
** tim
0 Komentar