![]() |
| “Dingin, bang…” ucapnya lirih, lebih seperti bisikan manja daripada keluhan |
Padang.Editor- diguyur angin lembut yang datang dari arah GOR H. Agus Salim kota Padanh Sumatera Barat . Di sudut Café Payung Dingin, suasana terasa lebih syahdu dari biasanya. Lampu kekuningan menetes lembut di atas meja bernomor 2 tempat sepasang kekasih larut dalam dunia mereka sendiri.Minggu 23 November 2025, pukul 19.26 Wib
Lelaki itu mengenakan kaos hitam dan celana pendek santai. Di sampingnya, sang kekasih duduk manis dengan jilbab krem yang lembut warnanya, serasi dengan cara ia menundukkan kepala ketika tersenyum. Sesekali tangan mereka saling menyentuh, pelan, seolah menyampaikan bahasa yang hanya mereka berdua mengerti.
Di meja itu, tidak ada hiruk pikuk luar. Tidak ada kebisingan kota. Yang ada hanya dua hati yang berdekatan, dua napas yang menyatu dalam kehangatan sederhana. Sesekali sang lelaki mengusap jari kekasihnya lembut, penuh sayang sementara sang perempuan membalas dengan senyum kecil yang membuat suasana semakin teduh.
“Dingin, bang…” ucapnya lirih, lebih seperti bisikan manja daripada keluhan.
Lelaki itu hanya menariknya sedikit lebih dekat, membiarkan kehangatan tubuh mereka menjadi selimut dalam udara yang menggigilkan.
Di Payung Dingin, cinta sore itu tidak menggelegar, tidak dramatik. Ia hadir sederhana, diam, dan tulus — seperti kopi hangat yang mengepul pelan di atas meja.
Dan di tengah angin senja yang mengusap kota, dua manusia itu tampak seperti menemukan rumahnya masing-masing: dalam pelukan yang tidak butuh banyak kata.
**Afridon


0 Komentar