MTsN 1 Kota Pariaman Diterpa Isu Dugaan Pelanggaran Aturan: Seragam, LKS, dan “Acara Perpisahan” Jadi Sorotan

 

Pariaman.Editor—Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 1 Kota Pariaman kini tengah berada dalam pusaran sorotan publik setelah mencuatnya isu dugaan pelanggaran aturan di lingkungan sekolah. Tiga hal utama menjadi perhatian: pengadaan seragam sekolah, dugaan praktik jual beli Lembar Kerja Siswa (LKS), serta pelaksanaan kegiatan yang disebut sebagai “acara perpisahan”.

Isu ini ramai diperbincangkan oleh masyarakat dan wali murid, memunculkan beragam respons mulai dari keresahan hingga kritik terbuka terhadap pihak sekolah.

Kepala Sekolah Angkat Bicara: "Bukan Perpisahan, Tapi Pengembalian Anak ke Orang Tua"

Dikonfirmasi  Beritaeditorial.com Kepala MTsN 1 Kota Pariaman, Tarmizi, membantah semua dugaan pelanggaran tersebut. Menurutnya, kegiatan yang disebut-sebut sebagai “perpisahan” bukanlah sebuah kegiatan hiburan atau seremonial akhir tahun seperti yang dipersepsikan banyak orang.

“Itu bukan perpisahan, tapi pengembalian. Namonyo diantar masuk dek urang tuo, kini baliak ka urang tuonyo,” jelasnya dalam wawancara, merujuk pada tradisi simbolik penyerahan kembali siswa kepada orang tua setelah menamatkan pendidikan di tingkat madrasah.

Tarmizi menegaskan bahwa acara tersebut murni inisiatif dari siswa dan telah melalui kesepakatan antara pihak sekolah, komite, dan wali murid. Bahkan, disertai surat pernyataan dukungan dari orang tua sebagai bentuk persetujuan.

Seragam dan LKS: “Tidak Ada Unsur Paksaan”

Isu lain yang turut mengemuka adalah soal pengadaan seragam dan dugaan penjualan LKS. Menanggapi hal ini, Tarmizi menjelaskan bahwa koperasi sekolah hanya menyediakan jenis seragam tertentu yang tidak mudah ditemukan di pasaran. Selebihnya, orang tua diberi kebebasan untuk membeli di luar.

“Tidak ada paksaan. Kalau seragam seperti baju pramuka dan lainnya bisa dibeli di luar. Koperasi hanya menyediakan untuk yang spesifik saja,” ujarnya.

Terkait LKS, pihak sekolah juga membantah terlibat dalam praktik jual beli. Tarmizi menyebut bahwa siswa bisa memanfaatkan buku-buku yang tersedia di perpustakaan sebagai alternatif.

Respons Masyarakat: Nama Boleh Diubah, Tapi Esensinya Tetap Sama

Di sisi lain, kritik datang dari sejumlah tokoh masyarakat yang menilai bahwa meskipun kegiatan tersebut diganti istilahnya menjadi “pengembalian”, esensinya tetap menyerupai perpisahan. Apalagi jika dalam praktiknya tetap melibatkan pungutan biaya dari orang tua.

“Sudah jelas ada larangan dari Kementerian Agama dan instansi pendidikan terkait. Kalau esensinya tetap sama, hanya ganti nama, itu tetap menyalahi aturan,” ujar salah seorang tokoh masyarakat yang meminta identitasnya dirahasiakan.Keresahan ini juga merambat ke media sosial, dengan banyak orang tua mempertanyakan transparansi dan komunikasi dari pihak sekolah mengenai berbagai kebijakan tersebut.

Butuh Klarifikasi Lanjutan

Kasus ini mencerminkan persoalan klasik yang kerap terjadi di sekolah negeri: tarik menarik antara semangat partisipasi masyarakat dalam mendukung kegiatan sekolah dan aturan tegas yang melarang segala bentuk pungutan yang tidak resmi.

Publik kini menanti klarifikasi lebih lanjut dari pihak berwenang, termasuk Kantor Kementerian Agama Kota Pariaman, untuk memastikan apakah benar terjadi pelanggaran atau hanya kesalahpahaman administratif.



**tim


Posting Komentar

0 Komentar