![]() |
Fenomena perebutan dana pokok pikiran (pokir) anggota dewan kembali menyeruak di Banda Aceh. |
Banda Aceh ,Editor,-Fenomena perebutan dana pokok pikiran (pokir) anggota dewan kembali menyeruak di Banda Aceh. Tak hanya politisi, sejumlah oknum wartawan—baik senior maupun pemula—ikut larut dalam praktik berebut proyek, hingga melahirkan gesekan dan saling serang.
Sehari-hari mereka berlabel jurnalis, yang mestinya bertugas sebagai penegak demokrasi dan sosial kontrol. Namun, sebagian justru berubah haluan menjadi makelar proyek, bahkan lihai melobi demi jatah pokir berupa dana publikasi, bantuan ternak, hingga sokongan untuk “menjaga kelangsungan media.”
“Wartawan itu tugasnya mencari fakta, bukan mengejar proyek. Kalau sudah masuk ranah pokir apalagi jadi makelar, itu bukan lagi kerja jurnalistik. Itu praktik bisnis gelap berkedok pers,” tegas pemantau pers, Ery Iskandar, saat dimintai tanggapan, Minggu (17/8/2025).
Menurutnya, wartawan muda yang idealis justru paling dirugikan karena nama baik profesi tercemar ulah oknum senior. “Yang kerja liputan serius di lapangan jadi ikut dipandang miring. Publik susah membedakan mana jurnalis profesional dan mana pemburu rente,” tambah Ery.
Ia menyoroti besarnya alokasi anggaran pokir publikasi di Pemko Banda Aceh pada 2025, meski kondisi keuangan daerah sedang sulit. “Ujung-ujungnya rakyat yang jadi korban. Mereka diperas dengan pajak hanya untuk menutup lubang anggaran publikasi yang kadang tidak jelas manfaatnya,” ungkapnya.
Fenomena serupa, lanjut Ery, menjalar ke sejumlah daerah lain seperti Lhokseumawe, Sabang, Aceh Barat, hingga Aceh Jaya. “Itu penyakit dari Aceh Besar dan Banda Aceh yang menjalar ke mana-mana,” katanya.
Ia menyebut, praktik ini kerap tercium dari obrolan di warung kopi tempat para oknum wartawan berkumpul. “Sesama mereka saling fitnah, saling buka aib, hingga main serang kalau tak kebagian jatah pokir. Ironis, di negeri yang mengaku syariah, praktik kotor seperti ini justru dibiarkan,” pungkas Ery.
** AW/DK
0 Komentar