![]() |
Dunia jurnalistik kembali tercoreng. Fenomena oknum wartawan pemburu pokok-pokok pikiran (pokir) |
Banda Aceh, Editor — Dunia jurnalistik kembali tercoreng. Fenomena oknum wartawan pemburu pokok-pokok pikiran (pokir) anggota dewan kini kian menjadi-jadi, bahkan melibatkan jurnalis yang telah mengantongi sertifikat kompetensi resmi dari Dewan Pers.
Praktik memalukan ini tak lagi berjalan sembunyi-sembunyi. Dengan status sebagai wartawan “kompeten”, sejumlah oknum secara terang-terangan melobi anggota dewan dan tim sukses demi mengamankan jatah iklan serta dana publikasi dari anggaran pokir.
Ironisnya, untuk memperluas pengaruh, mereka turut melibatkan keluarga dekat—dari istri, paman, mertua hingga rekan sekantor—dalam lobi politik demi keuntungan pribadi.
“Banyak dari mereka juga aktif menjelek-jelekkan media lain, khususnya yang belum terverifikasi. Tujuannya jelas: mendiskreditkan media independen dan menciptakan monopoli akses terhadap anggaran publikasi,” ungkap Ery Iskandar, pemerhati pers, Senin (4/8).
Ery mengecam keras perilaku ini, menyebutnya sebagai bentuk kemunduran etika jurnalistik yang sangat memprihatinkan. “Alih-alih menjadi penjaga kepentingan publik, mereka berubah menjadi makelar proyek. Ini pengkhianatan terhadap profesi,” tegasnya.
Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan dari Dewan Pers terhadap wartawan yang telah memperoleh sertifikasi kompetensi. “Sertifikat bukan tameng. Jangan seperti nyamuk yang setelah menetas dibiarkan mencari makan sendiri,” sindirnya tajam.
Menurut Ery, jika praktik ini dibiarkan, kepercayaan publik terhadap pers akan terus menurun. Ia mendesak Dewan Pers dan organisasi profesi untuk segera bertindak—mulai dari evaluasi, pengawasan ketat, hingga sanksi tegas bagi pelaku penyimpangan.
“Fenomena wartawan pemburu pokir adalah ancaman nyata bagi independensi dan martabat pers. Ini tidak bisa ditoleransi,” pungkas Ery.
**tim
0 Komentar