![]() |
Jakarta.Editor – Polemik UKW kembali mencuat usai seminar di Batam, memantik kritik terhadap sakralisasi sertifikat dan eksklusivitas pelaksanaannya.
Dalam kegiatan tersebut, seorang ketua organisasi wartawan menyampaikan bahwa hanya wartawan bersertifikat UKW yang layak disebut profesional. Pernyataan itu menimbulkan ketegangan karena dinilai melecehkan wartawan non-UKW, sekaligus menghidupkan kembali perdebatan lama soal ketimpangan perlakuan dalam dunia pers
Sejumlah peserta menilai UKW bukan lagi pembinaan, tetapi telah menjadi instrumen pembeda status sosial dan alat tekan terhadap wartawan lain. Di lapangan, tak sedikit oknum wartawan bersertifikat yang justru menggunakan status UKW untuk menekan instansi agar mendapatkan jatah iklan atau publikasi.
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, menegaskan bahwa pelaksanaan UKW selama ini tidak memiliki dasar hukum sebagai sertifikasi nasional karena tidak berada di bawah naungan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
“UKW itu tidak ubahnya seperti setan gentayangan. Sejak awal saya menolak, karena tidak dilisensi oleh BNSP. Bahkan ada dana BUMN Rp6 miliar yang harus dikembalikan karena penggunaannya tak jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Wilson dalam pernyataan tertulis, Minggu, 16 Juni 2025.
Pemantau media independen, Ery Iskandar, menyebut bahwa kartu UKW kini lebih sering dijadikan alat dagang ketimbang alat peningkatan mutu jurnalistik. Ia menyatakan bahwa banyak wartawan UKW justru terlibat dalam praktik tidak etis, seperti memonopoli proyek iklan pemerintah, membentuk struktur redaksi semu, dan menyingkirkan wartawan non-UKW dari lapangan liputan.
Dewan Pers dalam berbagai forum menyampaikan bahwa profesionalisme wartawan tidak semata ditentukan oleh sertifikat UKW. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) adalah landasan utama. Wartawan yang menjunjung tinggi etika tetap sah menjalankan tugas jurnalistik, terlepas dari status sertifikasinya.
Di tengah polemik ini, publik kembali menyoroti kasus hibah Rp6 miliar dari Kementerian BUMN yang diberikan kepada sebuah organisasi pers nasional untuk kegiatan UKW. Belakangan diketahui, dana tersebut sebagian besar dibagi-bagi di antara pengurus internal dan hanya sebagian kecil yang digunakan sesuai peruntukan. Sidang etik organisasi menyatakan terjadi penyimpangan serius, namun kasus itu tidak pernah diproses secara hukum. Dana yang tersisa hanya dikembalikan ke kas organisasi, tanpa pertanggungjawaban pidana dari pihak manapun.
Kasus tersebut memperkuat kecurigaan publik bahwa UKW telah diselewengkan menjadi proyek tertutup, eksklusif, dan rawan korupsi. Kritik terhadap model pelaksanaannya pun semakin kencang, terutama dari kalangan jurnalis independen dan komunitas media kecil yang kerap tersisih dari skema formal namun tetap menjaga etika profesi secara konsisten.
(HS)
0 Komentar