Eksklusif: 20.000 Hektare Hutan Sipora Dibabat, PT SPS Diduga Serobot Wilayah Adat Mentawai

 

PT Sumatera Power Sejahtera (SPS) disebut telah membabat sekitar 20.000 hektare kawasan hutan,  Jumat 20 Juni 2025 pukul 21.32 Wib ( Afridon )

Mentawai.Editor — Hutan lebat di Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, kini terancam hilang. Sebuah operasi pembukaan lahan besar-besaran yang dilakukan oleh PT Sumatera Power Sejahtera (SPS) disebut telah membabat sekitar 20.000 hektare kawasan hutan, sebagian besar berada di atas tanah ulayat masyarakat adat dan kawasan hutan primer.

Aktivitas yang melibatkan alat berat ini terpantau sejak awal 2025 di berbagai titik di Sipora Selatan dan Sipora Utara, seperti Desa Mara, Bosua, Sioban hingga Goiso Oinan. Masyarakat adat, tokoh lingkungan, hingga aktivis WALHI menyuarakan penolakan keras dan menuding perusahaan melakukan perampasan wilayah tanpa dialog dan tanpa transparansi izin.

“Kami tidak pernah diminta persetujuan. Ini adalah hutan leluhur kami. Mereka datang, tebang pohon, bawa kayu pergi. Kami hanya bisa menangis,” kata Agustinus Sabaleake, Ketua Lembaga Adat Suku Sabaleake di Desa Matotonan, Jumat (20/6/2025).

Kayu Dibawa Diam-Diam ke Pelabuhan, Dikirim ke Luar Pulau

Warga menyebutkan bahwa kayu hasil penebangan—yang diduga jenis meranti dan keruing—diangkut dengan truk besar menuju Pelabuhan Tuapeijat saat malam hari. Dari sana, kayu diduga dibawa menggunakan tongkang menuju Pelabuhan Bungus di Padang, sebelum diproses atau dijual ke pihak ketiga.

“Biasanya malam truk lewat, kayu besar ditutup terpal. Tujuannya jelas bukan untuk masyarakat sini,” kata seorang warga Desa Mara yang enggan disebut namanya.

Hingga saat ini, PT SPS belum memberikan keterangan resmi. Saat dikonfirmasi, pihak Dinas Lingkungan Hidup Mentawai juga belum menjawab secara terbuka soal legalitas izin maupun AMDAL perusahaan tersebut.

Izin Dipertanyakan, Pemerintah Daerah Bungkam

Menurut penelusuran, untuk bisa melakukan pembukaan hutan, PT SPS wajib memiliki IPPKH dari KLHK, HGU dari ATR/BPN, serta persetujuan masyarakat adat sesuai amanat UU 32/2009 dan Perda Sumbar No. 7/2018. Namun, hingga kini belum ada bukti terbuka bahwa semua prosedur ini telah dipenuhi.

“Kalau tak ada FPIC (Free, Prior and Informed Consent), itu jelas melanggar hak masyarakat adat,” ujar Riko Peisen dari WALHI Sumatera Barat.

Seruan Moratorium dan Audit Izin

Para aktivis mendesak KLHK dan Komnas HAM segera turun tangan untuk menghentikan aktivitas PT SPS sementara waktu dan melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh izin dan dampak lingkungan.

“20.000 hektare bukan angka kecil. Ini bukan sekadar soal kayu, tapi soal masa depan ekologis Mentawai,” tambah Riko.

Mentawai dalam Ancaman: Ekosistem Runtuh, Adat Terpinggirkan

Pulau Sipora selama ini dikenal sebagai benteng terakhir biodiversitas Sumatera Barat. Hutan-hutannya menjadi tempat hidup flora-fauna endemik dan sekaligus benteng iklim global.

Jika pembabatan ini terus berlanjut tanpa kendali, para ahli memperingatkan akan terjadi krisis ekologis permanen di kawasan Mentawai, yang tak hanya berdampak lokal, tetapi juga global.


**Afridon


Posting Komentar

0 Komentar