![]() |
Iustrasi Mitchat |
Padang.Editor - Saat malam menjelang, sebagian sudut Kota Padang menyajikan wajah berbeda. Jalan Dobi, Simpang Kinol, hingga Parak Karambi berubah menjadi zona yang berdenyut oleh aktivitas dunia malam yang terselubung. Tarifnya tak membuat dompet terkuras—cukup Rp300 ribu, bahkan ada yang menawarkan jasanya hanya Rp250 ribu. Semuanya terkoneksi lewat aplikasi digital, salah satunya yang cukup populer: MiChat.
Fenomena ini menjadi ironi tersendiri. Kota yang dikenal religius, kental adat Minangkabau, ternyata menyimpan denyut kehidupan malam yang terselubung namun terstruktur rapi. Wanita muda, berpakaian modis dan menawan, dengan mudah ditemukan secara daring. Mereka bukan berada di pinggir jalan, melainkan di balik layar gawai.
Sumber lapangan menyebutkan, banyak dari para perempuan itu menjalankan aktivitasnya dari penginapan-penginapan di pusat kota. “Bisa pilih-pilih, cantik-cantik. Cukup janjian lewat aplikasi. Mereka stay di penginapan tertentu, tinggal booking,” ujar seorang pengguna yang enggan disebutkan namanya.
Koordinasi Oknum, Tantangan Penegak Hukum
Petugas Satuan Polisi Pamong Praja dan aparat kepolisian mengakui kesulitan dalam memberantas praktik ini. Tak hanya karena modusnya yang bergerak melalui ruang digital, tetapi juga karena adanya dugaan keterlibatan oknum yang ‘bermain’.
“Kadang sudah ditindak, tapi kembali lagi. Karena memang ada yang memback-up, baik dari internal maupun eksternal,” ujar salah satu sumber dari kalangan aparat penegak hukum yang tak ingin namanya ditulis.
Kemajuan Teknologi, Ketertinggalan Regulasi
Fenomena ‘sortem’—sebutan lokal untuk transaksi seks kilat—sangat lekat dengan kemajuan teknologi. Aplikasi pesan instan dan media sosial menjadi jembatan baru. Para ‘pelaku’ tak lagi perlu menunggu pelanggan di pinggir jalan. Cukup dengan foto, tarif, dan titik temu yang sudah disepakati lewat chat.
“Ini bukan hanya soal prostitusi, tapi soal sistem. Ada yang mengatur, ada yang mengambil untung, dan semua tahu harus ke mana jika ingin mengakses,” ujar seorang investigasi lokal yang telah lama menelusuri fenomena ini.
Panggilan untuk Pemerintah dan Masyarakat
Kondisi ini menjadi alarm bagi pemerintah kota dan tokoh masyarakat. Keberadaan dunia malam terselubung ini tak hanya mencoreng citra kota, tetapi juga menyimpan risiko sosial yang besar: eksploitasi perempuan, perdagangan manusia, serta penyebaran penyakit seksual.
“Saatnya pendekatan tak hanya lewat razia, tapi lewat edukasi, regulasi digital, dan pembinaan ekonomi alternatif,” ujar seorang aktivis perempuan yang peduli terhadap isu ini.
** tim
0 Komentar