Afridon, Menjaga Marwah Jurnalisme di Tengah Badai Informasi

 

Jumat, 9 Mei 2029  Oleh Afridon, Beritaeditorial.com

Namanya mungkin tak setenar wartawan ibukota, tapi dedikasinya dalam menjaga etika jurnalistik patut diteladani. Afridon, jurnalis asal Padang yang kini aktif di Beritaeditorial.com, adalah sosok yang tak hanya menulis berita, tapi juga menjaga nilai-nilai luhur profesi. Ia bukan sekadar pemburu fakta, melainkan penjaga integritas di tengah pusaran informasi yang kian liar.

Pada 5–6 Juli 2024 silam, Afridon dinyatakan lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang digelar oleh Dewan Pers. Di bawah pengujian jurnalis senior Khairul Jasmi, ia menunjukkan pemahaman mendalam akan prinsip-prinsip utama jurnalisme. “Lulus UKW bukan hanya soal bisa menulis. Ini tentang tanggung jawab moral dan etika,” ujarnya kala itu

Afridon menjadikan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) bukan sekadar dokumen formal, tapi pedoman hidup. Ia menolak intervensi dan tekanan dari pemilik media maupun narasumber. Prinsip independensi (Pasal 1) baginya adalah harga mati. “Berita harus bersih dari kepentingan,” tegasnya.

Ia juga disiplin dalam verifikasi informasi (Pasal 2 dan 3). Tak ada berita yang ia terbitkan tanpa dicek ulang. “Satu informasi yang salah bisa merusak reputasi media dan mencederai kepercayaan publik,” katanya. Tak heran jika beritanya kerap dianggap kredibel.

Sebagai jurnalis, Afridon juga dikenal berimbang dan berkeadilan dalam menulis (Pasal 4 dan 5). Ia tak pernah menjual opini sebagai fakta, apalagi menerima imbalan dari narasumber. “Saya ingin anak-anak saya bangga bahwa ayahnya bukan wartawan bayaran,” ujarnya sambil tersenyum.

Afridon pun paham pentingnya melindungi narasumber (Pasal 6), terutama dalam liputan investigasi yang menyangkut kasus hukum atau korban kekerasan. Baginya, menjaga rahasia narasumber adalah bentuk keberpihakan kepada kebenaran.

Kepekaannya sebagai jurnalis juga tampak dalam perlakuannya kepada korban dan kelompok rentan (Pasal 7). Ia tak pernah mempublikasikan foto korban kecelakaan atau menuliskan kata-kata yang memperburuk stigma sosial. “Berita boleh keras, tapi hati tetap harus lembut,” katanya.

Afridon juga tak segan meminta maaf jika membuat kesalahan (Pasal 8 dan 9). Beberapa kali ia menerbitkan klarifikasi dan hak jawab sebagai bentuk tanggung jawab profesional. “Mengakui salah itu bukan kelemahan. Itu justru bukti kita beretika,” ujarnya.

Baginya, menjadi wartawan bukan soal menjadi terkenal atau viral. “Tujuan utama saya adalah melayani kepentingan publik,” tegasnya, menggemakan Pasal 10 KEJ.

Di tengah gempuran disinformasi dan jurnalisme pesanan, Afridon hadir sebagai contoh bahwa masih ada jurnalis yang berpegang teguh pada etika. Ia adalah bukti bahwa menjadi wartawan bukan hanya soal kemampuan teknis, tapi juga tentang karakter dan keberanian menjaga kebenaran.

Karena di tangan wartawan seperti Afridon, jurnalisme tetap menjadi pilar demokrasi bukan alat propaganda.


**

Posting Komentar

0 Komentar