Gelombang PHK Kompas TV: Ketika Suara Jurnalisme Harus Redup Demi Bertahan


Jakarta.Editor – Suasana ruang redaksi Kompas TV Jakarta tampak berbeda akhir-akhir ini. Kursi-kursi kosong, meja-meja yang tak lagi terisi naskah berita, dan layar-layar monitor yang perlahan dimatikan—semua menjadi saksi bisu dari keputusan besar: rightsizing.

Lebih dari sekadar efisiensi, keputusan manajemen Kompas TV untuk merampingkan struktur organisasi memaksa ratusan karyawan dari berbagai divisi—mulai dari News, Programming, Teknik, hingga Sales & Marketing—untuk mengucapkan salam perpisahan. Ini bukan hanya sekadar angka dalam laporan keuangan, melainkan potongan mimpi yang terpaksa dihentikan.

"Setiap jurnalis di sini bukan cuma pekerja. Kami adalah saksi sejarah, pembawa kebenaran, dan suara masyarakat," ujar seorang mantan produser yang enggan disebutkan namanya. "Kini, suara itu dipadamkan oleh realitas ekonomi."

Langkah berat ini tak lepas dari tekanan yang kian menghimpit industri media:

Menurunnya Pendapatan Iklan: Perlambatan ekonomi nasional dan tingginya inflasi menurunkan belanja iklan, yang merupakan urat nadi pendanaan media.

Pemangkasan Anggaran Pemerintah: Berkurangnya alokasi iklan dari sektor pemerintah turut memberi pukulan telak.

Kompas TV menyatakan, seluruh karyawan terdampak akan mendapatkan pesangon sesuai ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Namun, bagi banyak dari mereka, uang tak mampu menggantikan ikatan yang telah terbangun selama bertahun-tahun.

"Ini bukan akhir. Tapi ini luka," tulis seorang mantan jurnalis Kompas TV dalam unggahan perpisahannya di media sosial, yang langsung dibanjiri dukungan dari sesama awak media.


**Afridon


Posting Komentar

0 Komentar