![]() |
Banda Aceh.Editor--Dalam dunia pers yang seharusnya menjadi benteng terakhir kebenaran dan suara rakyat, kini mulai disusupi oleh oknum licik yang pandai menyamar. Salah satu sosok yang menjadi buah bibir di kalangan jurnalis Aceh adalah seorang pria yang dijuluki “Si Obat Kuat”. Julukan ini bukan tanpa alasan. Nama medianya mirip persis dengan merek obat kuat terkenal, namun bedanya, kekuatan yang dimilikinya bukanlah di ranjang atau stamina kerja, melainkan kuat dalam menjatuhkan media orang, kuat dalam menyuap pemilik pokir, dan kuat dalam bermain di wilayah gelap dunia pers.
Saat pertama menyusup ke dunia pers, statusnya hanyalah tenaga kontrak Pamhut. Namun kini, ia dengan enteng mengaku sudah meninggalkan dunia hutan dan sepenuhnya fokus menggarap “lahan” pokir. Di sanalah kerakusan dan ketamakannya semakin menjadi-jadi. Anehnya, medianya bisa lolos verifikasi Dewan Pers tanpa hambatan berarti. Dugaan kuat, keberhasilan ini tak lepas dari peran oknum jurnalis senior yang namanya cukup tenar, namun mudah “dijual” oleh si Obat Kuat demi kelancaran permainan. Bahkan, ia juga bisa melewati uji kompeten seolah tanpa hambatan, lagi-lagi berkat memanfaatkan jaringan orang dalam.
Berkat status media yang sudah terverifikasi, Si Obat Kuat mulai melancarkan strategi busuknya. Ia gencar menyebarkan isu liar, mendorong agar media dan wartawan yang belum berlabel Dewan Pers disingkirkan dari daftar penerima iklan pemerintah. Tujuannya jelas: memonopoli aliran dana iklan, menyingkirkan pesaing, dan menguasai panggung sendirian. Ketika akal bulusnya mulai terendus, ia akan dengan cepat berubah wajah — merendah, berlagak tak berdosa, dan memohon maaf hanya demi menyelamatkan posisi.
Keahliannya bukanlah menulis berita, melainkan bermain kata-kata, memutarbalikkan fakta, dan menakut-nakuti target dengan mencatut nama tokoh-tokoh terkenal. Dalam keseharian, ia tak segan menebar isu negatif, ibarat janda usil yang hobi ngerumpi. Pernah, ketika media mulai menyoroti sepak terjangnya, ia mendadak tiarap, seakan sudah bertobat. Namun, itu hanya jeda taktis. Kini, ia kembali dengan pola yang sama, bahkan lebih beringas. Tanpa tahu asal-usul atau menghargai perjuangan media baru, ia berani mengkritik habis-habisan seakan dialah satu-satunya jurnalis sejati, padahal sejatinya hanyalah penyusup licik.
Isu “Asoe Lhoek” menjadi salah satu senjata busuknya. Ia menggembar-gemborkan bahwa media yang dikelola orang Aceh namun bukan dari Asoe Lhoek tidak layak dihormati. Narasi ini jelas memecah belah, memanfaatkan sentimen lokal untuk menjatuhkan sesama anak daerah. Inilah wajah asli Si Obat Kuat: memecah belah demi kepentingan pribadi.
Istrinya pun tak kalah ambisius. Mengikuti gaya sang suami, ia tampil borju, berpenampilan mewah dari ujung rambut sampai ujung kaki. Semua modal ini berasal dari uang hasil olah pokir sang suami dan posisinya yang menyusup ke lingkaran pers. Mereka menjadi pasangan yang memanfaatkan legitimasi pers hanya untuk kepentingan pribadi, menjadikan profesi mulia ini sebagai tameng untuk praktik busuk.
Tak berhenti di situ, Si Obat Kuat kini mulai bergerak senyap. Pasca sepak terjangnya disorot media, ia memilih low profile di permukaan, namun tetap aktif di balik layar. Bahkan, ia pernah melontarkan ancaman serius akan “menghabisi” penulis yang berani mengungkap kebusukan dirinya. Ancaman ini jelas memperlihatkan sisi predatornya yang tak segan menggunakan intimidasi demi membungkam lawan.
Kini, ia tengah mengelola media online baru, dengan nama yang sengaja dibuat mirip media lain yang sudah lebih dulu eksis. “Ada independennya itu, yang saya tahu, itu nama media harian milik tokoh politik, dulu kantornya kalau tak salah di Beurawe,” ungkap Ery Iskandar, pemantau pers yang sudah lama mengikuti jejak si Obat Kuat. Menurut Ery, langkah ini adalah trik lama: meniru merek untuk membingungkan publik dan memanfaatkan reputasi media asli demi kepentingannya sendiri.
Ery Iskandar menilai Si Obat Kuat adalah contoh nyata dari penyakit dalam dunia pers yang sulit diberantas: penyusup dengan ambisi pribadi. “Dia ini ibarat benalu. Dia tidak menulis berita yang bermanfaat, tidak membangun literasi, tapi malah menggerogoti dari dalam. Media bagi dia hanya alat transaksi, bukan alat perjuangan. Saya sudah melihat banyak wartawan yang lahir dari bawah, berjuang dengan idealisme, tapi semua itu jadi rusak kalau ada orang model begini. Ironisnya, orang-orang seperti ini kadang justru dilindungi oleh oknum dalam organisasi pers sendiri,” ujar Ery.
Lebih jauh, Ery menambahkan bahwa kekuatan Si Obat Kuat bukan pada kualitas jurnalistik, tapi pada kemampuannya memanipulasi situasi. “Dia kuat menjatuhkan media lain, kuat menciptakan isu liar, dan kuat menekan orang lewat nama-nama besar yang ia catut. Itu kenapa saya setuju dia dijuluki obat kuat, karena kekuatannya justru di ranah kotor itu,” tegas Ery.
Potret ini menunjukkan bagaimana dunia pers bisa menjadi arena empuk bagi mereka yang licik dan oportunis. Tanpa mekanisme pengawasan yang tegas, oknum seperti Si Obat Kuat akan terus merajalela, memanfaatkan status dan label resmi untuk menguasai sumber daya yang seharusnya dibagi merata. Lebih berbahaya lagi, mereka bisa memecah belah solidaritas antar insan pers, mengubah profesi yang seharusnya mulia menjadi sekadar sarana untuk memperkaya diri.
Kisah Si Obat Kuat adalah peringatan keras bagi seluruh insan pers dan masyarakat luas: waspada terhadap predator licik yang menyamar sebagai pembela kebenaran. Di tangan mereka, pena tidak lagi lebih tajam dari pedang, melainkan hanya alat untuk menusuk dari belakang demi ambisi pribadi. (AW)
0 Komentar