![]() |
Di sebuah desa yang dulu damai di kaki bukit Padang Pariaman, suara gemuruh air kini kalah oleh raungan ekskavator jumat 30 Mai 2025 |
Padang Pariaman -Editor— Di sebuah desa yang dulu damai di kaki bukit Padang Pariaman, suara gemuruh air kini kalah oleh raungan ekskavator. Sungai yang dulu jernih, tempat anak-anak mandi dan petani menimba harapan, kini berubah menjadi parit penuh lumpur. Dan di tengah luka alam itu, publik dikejutkan oleh satu keputusan: pengembalian tiga ekskavator dan lima mobil tambang ilegal—tanpa satu pun tersangka.
Keputusan itu datang seperti petir di siang bolong. Tanggal 13 Mei 2025, Polres Padang Pariaman menyita alat-alat berat dari lokasi tambang ilegal yang telah lama merusak hutan dan aliran air. Tapi hanya berselang beberapa hari, semua barang bukti itu dikembalikan. Tidak ada penetapan tersangka. Tidak ada proses hukum. Hanya sunyi yang berbicara, dan luka yang menganga di tubuh bumi.
"Ini bukan hanya soal hukum. Ini soal hati nurani."
Begitu kata Syamsul Bader, pemerhati lingkungan yang matanya berkaca-kaca saat kami wawancarai pada 21 Mei. Ia tumbuh besar di daerah yang kini ditambang, mengenal lekuk bukit dan irama sungai seperti lagu masa kecil. Kini, semuanya tinggal kenangan.
"Kalau barang bukti dikembalikan begitu saja, alat itu bisa digunakan lagi untuk menggali bumi. Kita sedang menyaksikan pembiaran, bukan penegakan hukum!" tegasnya, tangannya mengepal menahan geram.
Lebih menyakitkan lagi, ketika publik mencoba menggali kejelasan, jawaban yang datang justru menambah luka. Kapolda Sumbar, Irjen Gatot Tri Suryanta, hanya memberi jawaban dingin via WhatsApp:
"Silakan langsung ke Kapolres, kalau ada pelanggaran silakan ke Dumas Itwasda."
Tak ada empati. Tak ada ketegasan. Hanya kesan ‘cuci tangan’ di tengah badai pertanyaan.
Sementara itu, masyarakat terus bertanya—dan bertanya. Para ibu yang kehilangan sumber air bersih. Para petani yang sawahnya tertimbun lumpur. Anak-anak yang tak lagi bisa bermain di sungai. Mereka semua menatap kosong ke arah aparat, menunggu satu hal: keadilan.
Apakah hukum sudah kehilangan suara?
Apakah benar, hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas?
Ataukah kita sedang menyaksikan wajah asli dari sistem yang kompromi terhadap kejahatan lingkungan?
Upaya konfirmasi kepada Kapolres dan Kasat Reskrim pun tak membuahkan hasil. Seolah semua mulut memilih diam, sementara alam terus menjerit.
Di tengah kekecewaan itu, satu hal menjadi terang: publik tidak akan diam. Kepercayaan yang rusak tidak bisa diperbaiki dengan kata-kata kosong. Padang Pariaman tidak butuh aparat yang diam saat rakyat menangis. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk membongkar siapa yang bermain di balik layar—dan mengembalikan keadilan ke tempat asalnya: rakyat.
Karena kalau hukum bisa dibeli, maka hutan akan tumbang. Sungai akan mati. Dan kita, akan kehilangan masa depan
**
0 Komentar